Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk
menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh
Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai,
sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang tersebut perlu dicabut. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten
atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri
yang bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
PERKARA YANG DIPERIKSA OLEH PENGADILAN HAM
Pengadilan Ham berkompeten untuk melakukan pemeriksaan
terhadap perkara terjadinya kejahatan ham berat berupa kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan (Vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
Tentang Pengadilan HAM). Untuk kasus terjadinya pembantaian di Laps Cebongan
merupakan suatu peristiwa yang tergolong pada kejahatan terhadap kemanusiaan
(Vide Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM). Adapun
bunyi Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM sebagai
berikut :
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan
yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
a.
pembunuhan;
b.
pemusnahan;
c.
perbudakan;
d.
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e.
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asa) ketentuan pokok hukum intemasional;
f.
penyiksaan;
g.
perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasaan seksual
lain yang setara;
h.
penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional;
i.
penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan
apartheid
KRONOLOGIS PEMBANTAIAN DI LAPAS CEBONGAN
Pada hari sabtu tanggal 23 maret 2013 sekitar pukul
01.00 wib Sekelompok orang yang tidak dikenal menemui sipir dengan membawa
surat perintah yang berkop surat Polda Yogyakarta akan bertemu dengan ke-empat
korban, dimana pada saat itu ditolak oleh sipir dengan alasan sudah malam,
sehingga muncul kelompok bersenjata laras panjang memaksa sipir Lembaga
Pemasyarakat (Lapas) untuk membukakan pintu. Mereka membawa granat dan
mengancam hendak meledakkannya jika pintu tidak dibuka. Begitu sipir membuka
pintu, mereka kemudian menyerbu ke dalam area Lapas, melewati lima lapis pintu
penjagaan dan mencari empat tahanan di Blok Anggrek (http://www.voaindonesia.com/content/gerombolan-bersenjata-serang-lapas-yogya-4-napi-tewas/ 1627158.html). Setelah menemukan
ke-empat korban, maka gerombolan orang yang tidak dikenal itu melakukan
pembantaian dengan melakukan penganiayaan serta penembakan yang menyebabkan
ke-empat korban meninggal dunia secara tragis.
KEWENANGAN FORMIL PENYELIDIKAN KASUS
Peristiwa pembantaian tersebut merupakan suatu
kejahatan yang bersifat sistematis karena dimungkinkan ada suatu perencanaan
yang ditunjukan oleh adanya fakta hukum terdapat dua orang oknum TNI AD yang
berusaha melarang teman-temannya untuk melakukan pembantaian tersebut. Dengan
adanya pelarangan ini, maka kegiatan pembantaian tahanan tersebut merupakan
suatu kegiatan yang sudah direncanakan sedemikian rupa sehingga adanya
persiapan berupa pembagian tugas seperti :
- adanya
persiapan untuk memalsukan surat perintah tugas dengan membuat surat yang
seolah-olah berasal dari Polda Jogyakarta.
- adanya
persiapan senjata yang digunakan, karena senjata dan peluru dapat dipergunakan
hanya dalam pelaksanaan tugas, bukan digunakan di luar tugas dan apabila
senjata tersebut tidak digunakan, maka senjata harus disimpan pada suatu gudang
senjata. Peluru pun demikian, setiap menggunakan peluru harus ada suatu
perintah dan setelah menggunakan peluru harus ada suatu pelaporan tentang
kegiatan apa yang sudah digunakan dan berapa banyak peluru yang digunakan.
- adanya
perencanaan dalam pembagian tugas seperti adanya penunjukan seorang eksekutor
dan adanya penunjukan oknum anggota TNI AD yang melakukan penjagaan dan adanya
pembagian tugas dalam pengamanan terhadap CCTV.
- Adanya
persiapan kendaraan, dimana kendaraan yang digunakan ini merupakan salah satu
alat kejahatan yang dipergunakan untuk memudahkan terjadinya suatu kejahatan,
sehingga kendaraan yang digunakan merupakan barang bukti dalam kejahatan
kemanusiaan ini.
- Adanya
persiapan dalam penentuan waktu kegiatan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dengan adanya pembagian tugas dan persiapan sarana
serta prasarana pendukung inilah merupakan suatu rangkaian persiapan yang telah
direncanakan dan sudah dipersiapkan secara sistematis. Hanya saja dalam proses
penyidikan juga masih banyak lagi yang harus dikerjakan bukan hanya selesai
pada suatu pengakuan. Masih banyak barang bukti dan petunjuk yang harus diolah
seperti bagaimana mekanisme komando dan pengendalian, yang artinya perlu adanya
pendalaman terhadap sistem pelaporan dan sarana pelaporan agar dapat diungkap
secara jelas kasusnya dan bukan hanya setengah-setengah. Sehingga perlu
dilakukan pendalaman terhadap alat komunikasi yang digunakan oleh Oknum pelaku
kejahatan terhadap kemanusiaan ini. Audit terhadap alat komunikasi ini amat
penting di dalam mengungkap jelas peristiwa pidana yang terjadi.
Berdasarkan atas uraian di atas maka Komnas Ham
merupakan Leading sektor dalam melakukan suatu penyelidikan hal ini
disebabkankarena KOMNAS HAM merupakan lembaga yang diberi kewenangan oleh
Undang-Undang untuk melakukan penyelidikan terhadap terjadinya kejahatan
terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang berbunyi :
(1)
Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
(2) Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia dan unsur masyarakat.
Dengan memahami peran, tugas dan tanggung jawab
Lembaga Komnas HAM untuk melakukan kegiatan penyelidikan ini, maka sudah
seharusnya Lembaga Komnas HAM melakukan tindakan penyelidikan berupa : (Vide
Pasal 19 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
a. melakukan
penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam
masyarakatyang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat
pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b. menerima
laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang
bukti;
c. memanggil
pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar
keterangannya;
d. memanggil
saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;
e. meninjau
dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap
perlu;
f. memanggil
pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan
dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.
g. atas
perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
1)
pemeriksaan surat;
2)
penggeledahan dan penyitaan;
3)
pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan,
4) bangunan,
dan tempat2 lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;
5) mendatangkan ahli dalam hubungan dengan
penyelidikan
Selain itu Komnas Ham pun memiliki kewenangan untuk
pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui
pengadilan; penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi
manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan
penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti (Vide Pasal 89
ayat (4) huruf (c), (d) dan (e) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM)
KEWENANGAN PERADILAN SIPIL DAN HAM PADA KASUS CEBONGAN
Banyak tayangan di televisi yang menyatakan bahwa
peristiwa pembantaian di proses melalui Peradilan Militer bukan peradilan
sipil. Pendapat ini merupakan suatu pendapat yang keliru, seharusnya kompetensi
kewenangan mengadil berada pada kewenangan pengadilan sipil, sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 65 ayat (2) yang berbunyi :
“PRAJURIT
TUNDUK KEPADA KEKUASAAN PERADILAN MILITER DALAM HAL PELANGGARAN HUKUM PIDANA
MILITER DAN TUNDUK PADA KEKUASAAN PERADILAN UMUM DALAM HAL PELANGGARAN HUKUM
PIDANA UMUM YANG DIATUR DENGAN UNDANG-UNDANG”.
Pada ketentuan KUHPM yang tidak mengatur adanya
ketentuan peristiwa terjadinya pembunuhan berencana, adapun peristiwa pidana
militer yang diatur pada KUHPM berupa :
a. KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA
b. KEJAHATAN DALAM MELAKSANAKAN
KEWAJIBAN PERANG, TANPA BERMAKSUD UNTUK MEMBERI BANTUAN KEPADA MUSUH ATAU
MERUGIKAN NEGARA UNTUK KEPENTINGAN MUSUH
c. KEJAHATAN YANG MERUPAKAN SUATU CARA
BAGI SESEORANG MILITER UNTUK
MENARIK DIRI DARI PELAKSANAAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN DINAS.
MENARIK DIRI DARI PELAKSANAAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN DINAS.
d. KEJAHATAN TERHADAP PENGABDIAN
e. KEJAHATAN TENTANG PELBAGAI KEHARUSAN
DINAS
f. PENCURIAN DAN PENADAHAN
g. PERUSAKAN, PEMBINASAAN ATAU
PENGHILANGAN BARANG-BARANG KEPERLUAN ANGKATAN PERANG
Untuk itu karena ketentuan hukum acaranya sudah sangat
jelas maka terhadap seluruh pelaku pembantaian di Lapas Cebongan sudah amat
patut di proses melalui Peradilan sipil bukan peradilan militer yaitu diproses
melalui HUKUM PIDANA SIPIL (Vide Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
Junto Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI) atau di
Proses Melalui Peradilan HAM (Vide Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
PERADILAN HAM), karena ketentuan peradilan sipil amatlah jelas sudah diatur
dalm KUHAP, jadi tidaklah perlu adanya suatu persepsi dan atau debat table yang
menyatakan belum ada ketentuan hukumnya oknum anggota TNI di Proses melalui
Peradilan Sipil dalam rangka penghormatan terhadap hukum sebagaimana sudah
diatur dalam ketentuan asas hukum EQUALITY BEFORE THE LAW.
Proses hukum ini amatlah penting agar didapat suatu
efek penjeraan/ Deterence, supaya tidak terjadi perbuatan melawan hukum yang
dilakukan berulang yang disebabkan kurangnya efek penjeraan terhadap pelaku
tindak pidana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar